December 17, 2009

DRAMA IMPIAN DI ANTARA BIDAK CATUR

Di sebuah desa yang  tidak jauh dari kota, tinggallah seorang anak bernama Leo bersama pamannya. Leo tinggal bersama pamannya karena kedua orang tuanya pergi menjadi TKI. Kini ia duduk di bangku kelas dua SMA. Leo memang dikenal sebagai anak yang sederhana.
Pada suatu malam yang sunyi pukul 22.00 WIB.


Leo               :  “Yes, akhirnya aku bisa!!! Ternyata aku tidak bodoh-bodoh amat,
                        buktinya semua soal bisa kukerjakan. (sambil merapikan buku
                        pelajaran)
                        Tapi mengapa teman-temanku menganggap aku seperti orang bodoh
ya? Apa mungkin penampilan luarku seperti orang bodoh? Ah, sudahlah jangan terlalu dipikirkan.
Ohh….sudah larut malam rupanya, tidur ah. (sambil menguap dan menuju ke tempat tidurnya)
Paman, Paman, temanin Leo tidur dong. Leo  takut nih!” (sambil berteriak)
Paman Ardi  :  “Ah, banci kamu Leo. Nggangu urusan orang dewasa saja.” (sambil berteriak dan menjalankan bidak catur)
Leo               : “Oh…rupanya bermain catur urusan orang dewasa ya Paman.” (berjalan ke arah pamannya)
Paman Ardi  :  “E..e..e, ini memang urusan orang dewasa. Hus…hus tidur sana!” (dengan gerakan mengusir)
Leo               :  “Begini Paman, Leo kan sudah dewasa, jadi Leo boleh lihat dong.” (berusaha membujuk pamannya)
Paman Ardi  :  “Ya sudah, sini duduk yang manis!” (menggeser duduknya)
Leo               :  “Jadi Leo boleh minta diajarin bermain catur!” (menatap pamannya dengan penuh harapan)
Paman Ardi  :  “Ya..ya, tapi nanti setelah Paman main dengan Bang Slamet nih.”
Bang Slamet :  “Iya Leo ntar dulu, lagi tanggung nih mainnya.”

Setelah menunggu salama 5 menit, akhirnya Paman Ardi berhasil  mengalahkan Bang Slamet.
Bang Slamet :  “Waduh…kalah maning, kalah maning. (sambil menepuk dahinya)              Paman kamu memang hebat Leo, sana gantian kamu yang main!. Wah sudah malam,Bang aku pulang dulu ya!”
Paman Ardi  : “Ya, besuk main lagi ya?.”
Leo               :  “Paman, ayo main sama aku!” (dengan nada menantang)
Paman Ardi  :  “We…lah, kamu itu sebenarnya sudah bisa kan, kok mau belajar pada paman.”
Leo               :  “Maaf Paman, sebenarnya Leo hanya bisa sedikit. Leo ingin pintar seperti Paman.”
Paman Ardi  :  “Ya sudah ayo main!” (sambil menata kembali anak-anak catur)
Tidak sampai 1 menit, paman mengalahkan Leo hanya dengan menggunakan lima langkah.
Paman Ardi  :  “Leo, itu tadi jurus lima langkah dewa maut, jurus andalan paman. Kamu   ingin bisa tidak?” (sesudah menggerakkan 5 buah bidak catur)
Leo               :  “Ya…iyalah, masak ya iya dong.”
            Akhirnya paman Ardi mengajari Leo bermain catur sampai pukul 2 dini hari. Sehingga Leo sering bangun kesiangan. Setiap malam sesudah belajar, Leo selalu belajar catur kepada pamannya.
            Suatu hari, karena Leo sudah cukup mahir dalam bermain catur ia ingin mengajak Pak Joko, penjaga kantin di sekolahnya untuk bertanding. Pak Joko memang seseorang yang ahli bermain catur, dan sering menang dalam lomba catur antar RT di desanya.
Leo               :  “Pak beli soto, lima ratusan, sama es teh.” (sambil membawa tas                                          laptop)
Pak Joko       :  “Kamu punya laptop baru ya Leo?” (sambil mengantarkan soto ke meja tempat Leo duduk)
Leo               :  “Ini hanya papan catur Pak.” (sambil mengeluarkan papan catur dari tas laptopnya)
Pak Joko       :  “Wah…wah…wah, papan catur saja kok dimasukkin dalam tas laptop.” (sedikit mengejek)
Leo               :  “Jangan begitu Pak. Akhir-akhir ini Leo memang tertarik untuk bermain catur. Apakah Bapak mau main dengan saya?” (dengan nada menantang)
Pak Joko       :  “Oce..oce, siapa takut.” (menunjukkan raut muka yang santai)
            Saat bel masuk berbunyi, Leo hampir mengalahkan Pak Joko.
Pak Joko       :  “Kamu memang pintar Leo.” (merasa heran)
Leo               :  “Oh…tidak juga Pak. Ini semua hanya kebetulan.”
Pak Joko       :  “Begini saja, nanti istirahat kedua kita main lagi. Pasti Bapak bisa mengalahkan kamu. Setuju?”
Leo               :  “Siap Pak.”
Ketika bel istirahat kedua berbunyi, Leo langsung berlari ke kantin untuk bermain catur lagi dengan Pak Joko. Hari-hari berikutnya Leo juga selalu bermain catur dengan Pak Joko. Hingga suatu hari Pak Joko marah mendegar ucapan Leo.
Pak Joko       :  “Wah…kamu itu memang benar-benar mak nyus.” (sambil mengacungkan jempolnya ke arah Leo)
Leo               :  “Oh tidak Pak, ini semua hanya kebetulan saja.”
Pak Joko       :  “Dari kemarin-kemarin sampai sekarang , kamu terus mengeluarkan kata-kata itu ketika menang sama saya. Apa kamu meremehkan saya? . “Kebetulan-kebetulan emangnya sya ini apa!.”(sedikit emosi sambil menyebar bidak-bidak catur dan mengerutu)
Leo               :  “wah tadi itu benar-benar hanya kebetulan kok Pak Joko malah marah sama aku(Leo mengerutu dan perlahan-lahan pergi dengan wajah cemberut)

            Seuasai pulang sekolah Leo duduk sendiri merenungi apa yang telah diucapkannya tadi. Temannya yang kebetulan lewat menghampirinya.
Ana              :  “Ada apa Leo, kok kelihatannya sedih?” (menuju ke arah Leo)
Leo               :  “Eh, kamu to Ana.Begini lho, aku tadi bermain catur dengan Pak Joko dan berulang kali aku menang. Aku bilang semua itu hanya kebetulan dan beliau marah. Apa aku salah?” (sambil mengangkat kedua tangannya)
Ana              :  “Wah…kamu memang salah jika berkata seperti itu kepada beliau. Mungkin ketika kamu mengalahkan Pak Joko, beliau berpendapat bahwa itu semua kemampuanmu yang sesungguhnya. Tetapi, kamu dengan enaknya berkata itu semua hanya kebetulan.”
Leo               :  “Ya…gimana lagi, menurutku semua itu memang kebetulan. Aku dapat uang di jalan kebetulan, dapat arisan juga kebetulan.” (menghela nafas panjang)
Ana              :  “Wah…wah, kamu itu salah persepsi. (menggeleng-nggelengkan kepala)
                        Begini saja nanti malam temanku, Fiah akan datang ke rumahku. Ia juga pintar catur dan pernah juara catur tingkat kabupaten. Kamu datang ya, jika ingin tahu kemampuanmu yang sebenarnya.”
Leo               :  “Baiklah, jika tidak ada halangan.”

            Malam harinya, Leo pun datang ke rumah Ana.
Leo               :  “Assalamu’alaikum.” (sambil mengetuk pintu)
Ana              :  “Wa’alaikumussalam. Sudah ditunggu dari tadi je.” (sambil membukakan pintu)
Leo               :  “Ya maaf, maklum aku hanya jalan kaki.”
Ana              : “Ini perkenalkan Fiah,  temanku yang ku ceritakan tadi siang.”  
Leo               :  “Hai…aku Leo.” (sambil berjabat tangan)
Ana              :  “Ayo dimulai saja, nanti pulang larut malam lho!”

Permainan catur pun dimulai. Leo vs Fiah. Keduanya sama-sama mempunayai skill yang kuat. Setelah bermain cukup lama, Leo hampir mengalahkan Fiah.
Ana              :  “Wah..kok kelihatannya kamu mau kalah ya Fi.” (sambil mengamati permainan kedua temannya)
Fiah              :  “Iya nih, ternyata Leo sangat hebat.” (berkata dengan nada kagum)
Leo               :  “Jangan berkata seperti itu, ini hanya kebetulan kok.” (sambil menatap dan meyakinkan kedua temannya)
Fiah              :  “Leo, kamu sok pintar deh.” (menatap dengan sinis)
Leo               :  “Lha gimana sih. Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi?” (sambil menjalankan salah satu pionnya)
Fiah              :  “Leo sepertinya kamu kurang menghargai dirimu sendiri.” (sedikit tegas)
Ana              :  “Benar apa yang dikatakan Fiah. Kamu itu sebenarnya pintar bermain catur, tapi kepercayaan dirimu itu kurang.”
Leo               :  “Lho..lho..lho, kenapa kalian malah menyudutkanku dengan kata-kata seperti itu?”
Ana              :  “Bukan begitu maksud aku, Leo. Tetapi ini memang yang terbaik bagimu. Kamu harus segera menyadari bahwa kemampuan yang ada pada dirimu karena karunia dari Allah SWT dan itu semua kamu kembangkan dengan usaha serta kemauan yang kuat.”
Leo               :  “Oke..oke, aku akui kalau aku kurang menghargai diriku ini.” (sambil menundukkan kepalanya)
Fiah              :  “Leo bersemangatlah, karena mungkin sebentar lagi kamu akan menjadi pemain catur yang terkenal.” (menatap Leo dengan penuh semangat)
Leo               :  “Maksud kamu Fiah?” (menegakkan kembali kepalanya)
Fiah              :  “Iya..besok pagi aku dan Ana akan mengantarkanmu kepada ayahku, Pak Wondo.”
Leo               :  “ Tapi untuk apa?” (kaget mendengar perkataan Fiah)
Fiah              :  “Kamu akan kami daftarkan untuk mengikuti seleksi pemilihan siswa yang akan mewakili sekolah kita dalam kejuaraan catur tingkat kabupaten.”
Leo               :  “Benarkah? Kalau begitu aku akan bersungguh-sungguh mengikuti seleksi itu.”
Ana & Fiah  :  “Berjuanglah!”
            Esok harinya, Ana, Fiah, Leo menemui Pak Wondo untuk mendaftarkan Leo.
Sayangnya, pendaftaran hampir ditutup karena waktu itu sudah memasuki hari terakhir.
Fiah              :  “Pagi Pak! Bisa bicara sebentar?”
Pak Wondo  :  “Pagi juga, ada apa ini kok rame-rame?”
Fiah              :  “Ini Pak mau tanya tentang pendaftaran seleksi lomba catur, masih dibuka tidak ya?”
Pak Wondo  :  “Oh…masih-masih. Ini hari terakhir. Memangnya siapa yang mau ikut seleksi?”
Leo               :  “S..ssssaya Pak.” (gugup sambil mengangkat tangan kanannya perlahan-lahan)
Pak Wondo  :  “Ini formulirnya di isi dulu, Baiklah, besok seusai jam ke 8 kamu kumpul di aula untuk mengikuti seleksi di sana.”
Leo               :  “Baik Pak, terima kasih.”
Tiga hari setelah Leo mengikuti seleksi, Pak Wondo mengumumkan peserta yang lolos seleksi.
Pak Wondo  :  “Selamat pagi anak-anak, di sini saya akan mengumumkan peserta yang lolos seleksi untuk mengikuti lomba catur tingkat kabupaten. Sebelumnya say mengucapkan banyak terima kasih atas partisipasi siswa-siswi sekalian. Peserta yang lolos seleksi adalah………… Leo.”
Leo               :  “Alhamdullillah.”
Pak Wondo  :  “Leo, silahkan maju ke sini,Bagaimana Leo, kamu bangga kan?”(sambil bersalaman)
Leo               :  “Wah terima kasih banyak Pak, tetapi Leo masih sedikit ragu Pak. Apakah Leo benar-benar lolos seleksi? Saya rasa ini juga kebetulan.”
Pak Wondo  :  “Tidak Leo, kamu memang lolos seleksi. Bapak sudah melihatmu sejak pertama kali kamu bertanding dalam seleksi ini.Kamu memang mempunyai kemampuan bermain catur yang hebat!, kamu memang layak Leo!” (sambil memegang pundak Leo)
Leo               :  “Baiklah Pak, saya akan benar-benar berusaha menggunakan kemampuan saya untuk mememenangkan  lomba tersebut.” (penuh semangat)
Pak Wondo  : “Berjuanglah Nak…….!”
            Hari berikutnya, Leo mengikuti lomba itu dengan kepercayaan diri yang kuat serta semangat yang berkobar-kobar. Dan pada akhirnya dialah sang juara catur tingkat kabupaten.

*****  Selesai  *****

BERITA LENGKAP DI HALAMAN BERIKUTNYA

Halaman Berikutnya